Sumber Hukum Islam yang Ke-3 : Ijtihad
Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan Hadis
Ulama Mujtahid Jaman Dulu |
1. Pengertian Ijtihād
Kata ijtihād berasal
bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang
berarti mengerahkan
segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau
bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihād
adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran
secara sungguh-sungguh dalam menetapkan
suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād
dinamakan mujtahid.
2. Syarat-Syarat berijtihād
Karena ijtihād
sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihād
antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum
yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihād dan menghasilkan hukum yang
tepat. Berikut beberapa syarat yang
harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād.
a.
Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
b.
Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah).
c.
Memahami cara merumuskan hukum (istinbaţ).
d.
Memiliki keluhuran akhlak mulia.
3. Kedudukan Ijtihād
Ijtihād memiliki
kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah
al-Qur’ān dan hadis. Ijtihād dilakukan
jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya
dalam al-Qur’ān dan hadis. Namun
demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād
tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān
maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Artinya:
“Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia
bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang
kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’ān).”
Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu
mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut
Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak
menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan
pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang
sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan
bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.”
(H.R. Darami)
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seseorang yang berijtihād sesuai dengan kemampuan dan
ilmunya, kemudian ijtihādnya itu
benar, maka ia mendapatkan dua pahala, Jika kemudian ijtihādnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.
Hal tersebut ditegaskan
melalui sebuah hadis:
Artinya:
“Dari Amr bin Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim
berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia
mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihād, kemudian ijtihādnya salah,
maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
4. Bentuk-Bentuk Ijtihād
Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum
terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Ijma’
Ijma’ adalah
kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam
memutuskan suatu perkara atau hukum.
Contoh ijma’ di masa sahabat adalah
kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran
terpisah menjadi sebuah mus¥af al-Qur’ān yang
seperti kita saksikan sekarang ini.
b. Qiyas
Qiyas adalah
mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān
atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman
keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena memiliki
kesamaan sifat dan karakter dengan khamr,
yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)
c. Maślaĥah Mursalah
Maślaḥah mursalah artinya penetapan hukum yang
menitikberatkan pada kemanfaatan
suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at Islam. Misalkan, seseorang wajib mengganti atau membayar
kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar
kesepakatan yang telah ditetapkan.
Pembagian Hukum Islam
Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu
hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah
Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, yaitu sebagai berikut.
a.
Wajib (farḍu), yaitu
aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika
dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa.
Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan (surga),
sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan
(neraka). Misalnya, perintah wajib śalat,
puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
b.
Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan
suatu perbuatan dengan konsekuensi
jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat
untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
c.
Haram (taḥrim),
yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya
adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap
dilakukan akan mendapatkan dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari
mengerjakan larangan Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia,
ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak. Misalnya
larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr,
larangan berzina, larangan berjudi, dan sebagainya.
d.
Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau
tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa,
akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya,
mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya.
e.
Mubaḥ (al-Ibaḥaḥ), yaitu sesuatu yang boleh
untuk dikerjakan dan boleh untuk
ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun
ditinggalkan. Misalnya makan roti,
minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.
Menerapkan Perilaku Mulia
Perilaku mulia dari pemahaman terhadap al-Qur’ān, hadis, dan ijtihād
sebagai sumber hukum Islam tergambar dalam aktivitas sebagai berikut.
- Gemar membaca dan mempelajari al-Qur’ān dan hadis baik ketika sedang sibuk ataupun santai.
- Berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis.
- Selalu mengkonfirmasi segala persoalan yang dihadapi dengan merujuk kepada al-Qur’ān dan hadis, baik dengan mempelajari sendiri atau bertanya kepada yang ahli di bidangnya
- Mencintai orang-orang yang senantiasa berusaha mempelajari dan meng amalkan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
- Kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus berupaya agar tidak keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
- Membiasakan diri berpikir secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’ān dan hadis.
- Aktif bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian agama dan berakhlak mulia.
- Berhati-hati dalam bertindak dan melaksanakan sesuatu, apakah hal tersebut boleh dikerjakan ataukah hal tersebut boleh ditinggalkan.
- Selalu berusaha keras untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan dan menjauhi segala larangan.
- Membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya untuk menyempurnakan ibadah wajib karena khawatir belum sempurna.
Untuk Sumber hukum islam yang pertama >>> klik DISINI >>>
Sumber hukum Islam yang kedua >>> klik DISINI >>>
Post a Comment for "Sumber Hukum Islam yang Ke-3 : Ijtihad"